Rabu, 20 Agustus 2008

Wajah Buruk Pendidikan indonesia

Bagi bangsa yang ingin maju, pendidikan merupakan sebuah kebutuhan. Sama halnya dengan kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Bahkan dalam institusi yang terkecil seperti keluarga, pendidikan merupakan kebutuhan yang utama.

Hanya saja kita melihat pendidikan saat ini sangatlah jauh dari harapan, Hal ini setidaknya dapat dilihat dari: pertama, paradigma pendidikan nasional yang sekuler materialistic sehingga tidak menghasilkan manusia yang berkualitas (pribadi dan keahliannya). Kedua, semakin mahalnya biaya pendidikan, ketiga rendahnya kualitas SDM yang dihasilkan.

Paradigma Pendidikan Nasional

Diakui atau tidak sistem pendidikan yang berjalan saat ini adalah sistem pendidikan yang sekuler-materialistik. Hal ini dapat terlihat pada UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 Bab VI tentang jalur, jenjang, dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi: Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi, keagamaan, dan khusus. Hal ini jelas adanya dikotomi pendidikan yaitu pendidikan agama dan pendidikan umum. Sistem pendidikan dikotomis semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia berkepribadian Islam yang mampu menjawab tantangan perkembangan sains dan tekhnologi.

Selain Bab VI pasal 15, juga tampak pada Bab X pasal 37 UU Sisdiknas tentang kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang mewajibkan memuat sepuluh bidang mata pelajaran dengan pendidikan agama yang tidak proposional dan tidak dijadikan landasan bagi bidang pelajaran lainnya. Ini jelas tidak akan mampu mewujudkan anak didik yang sesuai dengan tujuan pendidikan nasional sendiri. Ini diakibatkan kurikulum yang berazas kapitalis-sekuler. Pendidikan yang sekuler- materiaistik ini memang bisa melahirkan orang yang menguasai sains-teknologi melalui pendidkan umum yang diikutinya. Akan tetapi, pendidikan semacam ini erbukti gagal membentuk kepribadian peserta didik yang mumpuni tsaqafah Islam -nya. Sebaliknya, yang belajar dilingkungan pendidikan agama memang menguasai tsaqafah Islam (pengetahuan Islam) dan secara relative sisi kepribadiannya tergarap baik. Akan tetapi, disisi lain ia buta terhadap perkembangan sains dan teknologi.

Sistem pendidikan yang material-sekuleristik tersebut sebenarnya hanyalah merupakan bagian sedikit dari sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang juga sekuler. Dalam sistem sekuler, aturan-aturan, pandangan, dan nilai-nilai Islam memang tidak pernah secara sengaja digunakan untuk menata berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan.

Karena itu, di tengah-tengah system sekuleristik ini lahirnya berbagai bentuk tatanan yang jauh dai nilai-nilai agama menerapakan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) dan memberlakukan BHMN bagi perguruan tinggi negeri dimana hal ini merupakan bentuk pelepasan tanggung jawab negara terhadapa permasalahan pendidikan rakyatnya.

Pendidkan berkualitas memang tidak mungkin murah, tetapi persoalannya siapa yang harus membayarnya. Kewajiban Pemerintahlah untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan &

menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi kenyataannya pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’. Bahkan, pemerintah ‘melarikan diri’ dengan mencanangkan progam BHP yang kian menjadikan pendidikan sebagai bisnis. Buktinya, bukan menjadi tontonan asing ketika banyak saudara kita yang tidak melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Alasannya,faktor ekonomi. Lulusan SD sulit lanjut ke SMP. Lulusan SMP susah lanjut ke SMA. Dari SMA kian disulitkan untuk melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Alhasil, sekolah hanya untuk orang kaya.

Kualitas SDM yang Dihasilkan Rendah

Akibat paradigma pendidikan nasional yang materialstik-sekuleristik, kualitas kepribadian anak didik di Indonesia semakin memprihatinkan. Maraknya tawuran antar remaja di berbagai daerah ditambah dengan sejumlah perilaku yang sudah tergolong kiminal, meningkatnya penyalahgunaan narkoba, dan pergaulan bebasa adalah bukti bahwa pendidikan tidak berhasil membentuk anak didik yang memilki kepribadian Islam.

Dari sisi keahlian pun sangat jauh dibandingkan dengan Negara lain. Bersama dengan sejumlah Negara ASEAN, kecuali Singapura dan Brunei. Indonesia masuk dalam kategori negara yang Indeks Pembangunan Manusia (IPM)-nya di tingkat medium. Jika dilihat dari indicator indeks pendidikan, Indonesia berada di atas Myanmar, Kamboja, dan Laos atau ada di peringkat 6 negara ASEAN. Bahkan indeks pendidkan Vietnam yang pendapatan perkapitanya lebih rendah dari Indonesia adalah lebih baik.

Kesimpulan

Penyelesaian problem pendidikan yang mendasar tentu harus dilakukan secara fundamental. Itu hanya dapat diwujudkan dengan melakukan perbaikan secara menyeluruh yang diawali dari perubahan paradigma sekuler menjadi paradigma Islam. Mulai dari system pendidikan hingga ekonominya. Kelemahan yang tercemin dari kacaunya pendidikan, misal: kurikulum serta tidak berfungsinya guru dan lingkungan sekolah/kampus sebagai medium pendidikan sebagaimana mestinya dapat diperbaiki sesuai dengan arahan Islam.

Selain itu untuk mengatasi problem komersialisasi pendidikan, perlu dilakukan langkah-langkah yang sistematis dengan merombak semua sistem sehingga seluruh rakyat akan dapat menikmati pendidikan di Indonesia dengan murah, bermutu tinggi, dan Islami sebagai bagian dari public services semata yang diberikan oleh Negara kepada rakyatnya. Dengan demikian, akan lahir secara massal SDM yang bekepribadian Islami dan berkualitas unggul yang memiliki daya saing yang tinggi yang akan mampu menyelesaikan keterpurukan yang ada. Dan yang pasti,untuk mendapatkan system Islam yang sempurna perlu pengawasan yang sempurna pula. Tentu pengawas tersebut berupa Negara. Negara yang berbasis Islam atau yang kini hangat dibicarakan yaitu Khilafah Islamiyah. Insya Allah, janji tersebut akan datang pada kita. Jadi, sudah saatnya katakan “Ganti Rezim, Ganti Sistem!”* Wallaahu A’lam

*Penulis adalah mahasiswa Fak.Hukum, NKH

Minggu, 03 Agustus 2008

Prinsip Demokrasi

Prinsip Demokrasi

Menurut Sadek, J. Sulaymân, dalam demokrasi terdapat sejumlah prinsip yang menjadi standar baku. Di antaranya:
• Kebebasan berbicara setiap warga negara.
• Pelaksanaan pemilu untuk menilai apakah pemerintah yang berkuasa layak didukung kembali atau harus diganti.
• Kekuasaan dipegang oleh suara mayoritas tanpa mengabaikan kontrol minoritas
• Peranan partai politik yang sangat penting sebagai wadah aspirasi politik rakyat.
• Pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
• Supremasi hukum (semua harus tunduk pada hukum).
• Semua individu bebas melakukan apa saja tanpa boleh dibelenggu.

Pandangan Ulama tentang Demokrasi
Al-Maududi
Dalam hal ini al-Maududi secara tegas menolak demokrasi. Menurutnya, Islam tidak mengenal paham demokrasi yang memberikan kekuasaan besar kepada rakyat untuk menetapkan segala hal. Demokrasi adalah buatan manusia sekaligus produk dari pertentangan Barat terhadap agama sehingga cenderung sekuler. Karenanya, al-Maududi menganggap demokrasi modern (Barat) merupakan sesuatu yang berssifat syirik. Menurutnya, Islam menganut paham teokrasi (berdasarkan hukum Tuhan). Tentu saja bukan teokrasi yang diterapkan di Barat pada abad pertengahan yang telah memberikan kekuasaan tak terbatas pada para pendeta.

Mohammad Iqbal
Kritikan terhadap demokrasi yang berkembang juga dikatakan oleh intelektual Pakistan ternama M. Iqbal. Menurut Iqbal, sejalan dengan kemenangan sekularisme atas agama, demokrasi modern menjadi kehilangan sisi spiritualnya sehingga jauh dari etika. Demokrasi yang merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah mengabaikan keberadaan agama. Parlemen sebagai salah satu pilar demokrasi dapat saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan nilai agama kalau anggotanya menghendaki. Karenanya, menurut Iqbal Islam tidak dapat menerima model demokrasi Barat yang telah kehilangan basis moral dan spiritual. Atas dasar itu, Iqbal menawarkan sebuah konsep demokrasi spiritual yang dilandasi oleh etik dan moral ketuhanan. Jadi yang ditolak oleh Iqbal bukan demokrasi an sich. Melainkan, prakteknya yang berkembang di Barat. Lalu, Iqbal menawarkan sebuah model demokrasi sebagai berikut:
- Tauhid sebagai landasan asasi.
- Kepatuhan pada hukum.
- Toleransi sesama warga.
- Tidak dibatasi wilayah, ras, dan warna kulit.
- Penafsiran hukum Tuhan melalui ijtihad.

Muhammad Imarah
Menurut beliau Islam tidak menerima demokrasi secara mutlak dan juga tidak menolaknya secara mutlak. Dalam demokrasi, kekuasaan legislatif (membuat dan menetapkan hukum) secara mutlak berada di tangan rakyat. Sementara, dalam sistem syura (Islam) kekuasaan tersebut merupakan wewenang Allah. Dialah pemegang kekuasaan hukum tertinggi. Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum sesuai dengan prinsip yang digariskan Tuhan serta berijtihad untuk sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah.
Jadi, Allah berposisi sebagai al-Syâri’ (legislator) sementara manusia berposisi sebagai faqîh (yang memahami dan menjabarkan) hukum-Nya.
Demokrasi Barat berpulang pada pandangan mereka tentang batas kewenangan Tuhan. Menurut Aristoteles, setelah Tuhan menciptakan alam, Diia membiarkannya. Dalam filsafat Barat, manusia memiliki kewenangan legislatif dan eksekutif. Sementara, dalam pandangan Islam, Allah-lah pemegang otoritas tersebut. Allah befirman
Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam. (al-A’râf: 54).
Inilah batas yang membedakan antara sistem syariah Islam dan Demokrasi Barat. Adapun hal lainnya seperti membangun hukum atas persetujuan umat, pandangan mayoritas, serta orientasi pandangan umum, dan sebagainya adalah sejalan dengan Islam.

Yusuf al-Qardhawi
Menurut beliau, substasi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal. Misalnya:
- Dalam demokrasi proses pemilihan melibatkkan banyak orang untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja, mereka tidak boleh akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam shalat yang tidak disukai oleh makmum di belakangnya.
- Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan Islam. Bahkan amar makruf dan nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam.
- Pemilihan umum termasuk jenis pemberian saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara mayoritas jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti ia telah menyalahi perintah Allah untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan.
- Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sementara, lainnya yang tidak terpilih harus tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan tiga, mereka harus memilih seseorang yang diunggulkan dari luar mereka. Yaitu Abdullah ibn Umar. Contoh lain adalah penggunaan pendapat jumhur ulama dalam masalah khilafiyah. Tentu saja, suara mayoritas yang diambil ini adalah selama tidak bertentangan dengan nash syariat secara tegas.
- Juga kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan Islam.

Salim Ali al-Bahnasawi
Menurutnya, demokrasi mengandung sisi yang baik yang tidak bertentangan dengan islam dan memuat sisi negatif yang bertentangan dengan Islam.
Sisi baik demokrasi adalah adanya kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan dengan Islam. Sementara, sisi buruknya adalah penggunaan hak legislatif secara bebas yang bisa mengarah pada sikap menghalalkan yang haram dan menghalalkan yang haram. Karena itu, ia menawarkan adanya islamisasi demokrasi sebagai berikut:
- menetapkan tanggung jawab setiap individu di hadapan Allah.
- Wakil rakyat harus berakhlak Islam dalam musyawarah dan tugas-tugas lainnya.
- Mayoritas bukan ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak ditemukan dalam Alquran dan Sunnah (al-Nisa 59) dan (al-Ahzab: 36).
- Komitmen terhadap islam terkait dengan persyaratan jabatan sehingga hanya yang bermoral yang duduk di parlemen.

Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan dan tidak sepenuhnya sejalan dengan Islam.
Prinsip dan konsep demokrasi yang sejalan dengan islam adalah keikutsertaan rakyat dalam mengontrol, mengangkat, dan menurunkan pemerintah, serta dalam menentukan sejumlah kebijakan lewat wakilnya.
Adapun yang tidak sejalan adalah ketika suara rakyat diberikan kebebasan secara mutlak sehingga bisa mengarah kepada sikap, tindakan, dan kebijakan yang keluar dari rambu-rambu ilahi.
Karena itu, maka perlu dirumuskan sebuah sistem demokrasi yang sesuai dengan ajaran Islam. Yaitu di antaranya:
1. Demokrasi tersebut harus berada di bawah payung agama.
2. Rakyat diberi kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya
3. Pengambilan keputusan senantiasa dilakukan dengan musyawarah.
4. Suara mayoritas tidaklah bersifat mutlak meskipun tetap menjadi pertimbangan utama dalam musyawarah. Contohnya kasus Abu Bakr ketika mengambil suara minoritas yang menghendaki untuk memerangi kaum yang tidak mau membayar zakat. Juga ketika Umar tidak mau membagi-bagikan tanah hasil rampasan perang dengan mengambil pendapat minoritas agar tanah itu dibiarkan kepada pemiliknya dengan cukup mengambil pajaknya.
5. Musyawarah atau voting hanya berlaku pada persoalan ijtihadi; bukan pada persoalan yang sudah ditetapkan secara jelas oleh Alquran dan Sunah.
6. Produk hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari nilai-nilai agama.
7. Hukum dan kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh semua warga

Akhirnya, agar sistem atau konsep demokrasi yang islami di atas terwujud, langkah yang harus dilakukan:
- Seluruh warga atau sebagian besarnya harus diberi pemahaman yang benar tentang Islam sehingga aspirasi yang mereka sampaikan tidak keluar dari ajarannya.
- Parlemen atau lembaga perwakilan rakyat harus diisi dan didominasi oleh orang-orang Islam yang memahami dan mengamalkan Islam secara baik.
Wallahu a’lam bi al-shawab
Wassalamu alaikum wr.wb

Rapat koordinasi Gema PW Sumsel

Alhamdulillah akhirnya setelah lama tidak terlihat kini gema Pembebasan pw sumsel mulai terbentuk kembali hal ini dimulai dengan berkumpulnya kembali para kader dakwah yang sudah mulai menyusun rencana strategi untuk 2 tahun kedepan,dan mulai dibentuk 2 komsat di palembang dan 2 komsat di lubul linggau, mudah-mudahan ini adalah awal yang baik untuk bisa kembali menegakan syariat islam dan daulah khilafah di bumi Allah.
theme: auter space :: download this template for free from template.azimat.net