Selasa, 06 Januari 2009

BHP=KAPITALISME

Kebijakan pemerintah dalam mengesahkan UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) menuai kecaman dan rreaksi keras dari berbagai kalangan khususnya mahasiswa, dijogjakarta dan Jakarta. Para insan kampus yang tergabung dalam berbagai komunitas mahasiswa berbondong-bondong keluar kampus mengeluarkan aspirasinya, hal tersebut diwarnai dengan aksi demo besar –besaran dan tindakan anarkis hingga tak jarang terjadi bentrok dengan aparat.para mahasiswa mengeluarkan aspirasi mereka,mereka menuntut agar UU tersebut segera di batalkan, mereka menilai UU tersebut akan semakin memperburuk dunia pendidikan Indonesia karna dengan UU tersebut akan menjadikan system pendidikan kapitalis dan menjadikan biaya Pendidikan semakin mahal .

Protes juga dialamatkan kepada PKS karena Ketua Pansus RUU BHP Irwan Prayitno merupakan anggota legislatif dari PKS.Benarkah PKS sudah tidak pro dengan perjuangan mahasiswa yang menuntut pendidikan murah? Apakah politisi PKS sudah bergaya borjuis dengan membela kepentingan kapitalis pihak perguruan tinggi?Menurut ketua Panitia Khusus RUU BHP, Irwan Prayitno, Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) justru menjamin biaya kuliah akan turun. Ketua Komisi X DPR yang membidangi pendidikan ini menilai orang-orang yang memprotes belum membaca dan memahami UU BHP secara menyeluruh. Padahal kalau kita pahami secara seksama pada prinsipnya UU BHP adalah jelas lebih memihak kepada kaum kapitalis dan semakin mengarah ke representasi neoliberalisme dalam dunia pendidikan.mulai dari mekanisme pengelolaanya yang berbentuk badan hukum,adanya koorporasi bisnis dan penanaman modal asing.yang hal ini akan semakin membuka lebar akses menuju penguasaan asing.

Konsep kapitalis

Dalam pasal 34, tercantum bahwa, peserta didik harus menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan kemampuannya, orang tua, atau pihak yang bertanggung jawab membiayai (ayat 4). Biaya penyelenggaraan pendidikan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (4) yang ditanggung oleh seluruh peserta didik dalam pendanaan pendidikan menengah atau pendidikan tinggi pada BHPP atau BHPPD sebanyak-banyaknya satu per tiga dari seluruh biaya operasional. Dalam konteks demikian, kehadiran UU BHP akan semakin membuat biaya pendidikan mahal karna Jika peserta didik harus menanggung 1/3 dari seluruh biaya operasional, bagaimana halnya dengan nasib anak-anak cerdas dari kalangan tak mampu? Bagaimana masa depan negeri ini kalau dunia pendidikan hanya boleh dinikmati oleh anak-anak dari kaum kaya saja?, Sebab,Menurut data Susenas 2004 saja, dari penduduk usia sekolah 7–24 tahun yang berjumlah 76,0 juta orang, yang tertampung pada jenjang SD sampai dengan PT tercatat baru mencapai 41,5 juta orang atau sebesar 55 persen.

Lalu menurut data Balitbang Depdiknas 2004, yang putus sekolah di tingkat SD/MI tercatat sebanyak 685.967 anak; yang putus sekolah di tingkat SMP/MTs sebanyak 759.054 orang. Dengan terjadinya krisis ekonomi yang parah saat ini, pasti anak-anak putus sekolah semakin berlipat jumlahnya. Artinya, UU BHP ini tetap tidak menjamin seluruh rakyat bisa menikmati pendidikan.

Sementara itu pada pasal 37 ayat 5 menyebutkan, mekanisme pengelolaan kekayaan dan pendapatan BHP dikelola secara mandiri oleh institusi BHP secara transparan dan akuntabel Mekanisme pengelolaannya tentu serupa dengan mekanisme pengelolaan kekayaan dan pendapatan pada suatu badan hukum/perusahaan. Dari sisi pendanaan, Pasal 41 UU BHP menjelaskan Badan Hukum Pendidikan, mulai dari pendidikan dasar, menengah hingga pendidikan tinggi, tetap terdapat porsi-porsi pembiayaan yang tidak ditanggung oleh pemerintah dan otomatis harus dipenuhi sendiri oleh Badan Hukum Pendidikan tersebut, sumber pendapatan bisa berasal dari peserta didik maupun bukan, selain itu masih ada pembagian pendanaan antara BHP dan Pemerintah yang tidak jelas porsinya (lihat pasal 41). Dari sinilah terbuka beberapa mekanisme usaha bagi BHP untuk memenuhi kebutuhan biaya operasionalnya. Persis seperti badan hukum (perusahaan) menjalankan usahanya. Hal ini tentunya membuka lebar liberalisasi dan komersialisasi dalam institusi pendidikan,karna dengan kata lain suatu instansi BHP harus dapat mendirikan suatu badan hukum / perusahaan guna mencukupi biaya operasional pendidikan (tercantum pada pasal 43 ayat 1),juga BHP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi dapat melakukan investasi dalam bentuk portofolio (saham). Hal tersebut tercantum dalam pasal 42 ayat 1. Artinya, sebagaimana layaknya perusahaan, institusi pendidikan berbentuk BHP pun dapat bermain di bursa saham. Usaha ini sangat riskan, terlebih bila dijalankan oleh sebuah badan hukum pendidikan. Apalagi mengingat krisis luar biasa yang melanda pasar finansial di seluruh dunia dan mengakibatkan puluhan perusahaan termasuk perusahaan-perusahaan besar gulung tikar dalam waktu singkat. Bagaiman bila hal tersebut menimpa BHP? Tentu saja dibubarkan, dan akan berlaku UU kepailitan seperti yang disebutkan dalam pasal 58 ayat 4. bagaimana jadinya dunia pendidikan Indonesia jika mekanisme pengelolaannya didasarkan pada mekanisme pengelolaan suatu perusahaan??dan system pendidikan yang berbau bisnis?

Skenario asing

Konsekuensi yang kedua dari bentuk institusi pendidikan sebagai Badan Hukum adalah kebebasannya untuk mencari sumber dana. Apalagi ternyata pemerintah pun tidak membiayai sepenuhnya dan tidak pula menjamin secara utuh ketersediaan biaya bagi operasional suatu institusi pendidikan (lihat pasal 41). Karenanya terdapat suatu keterbutuhan dari institusi BHP untuk mendapatkan dana operasional dengan cara

membuka investasi pihak luar terhadap dirinya (pasal 45 ayat 1). Inilah salah satu esensi utama juga urgensi utama dari bentuk Badan Hukum Pendidikan.Satu hal lagi yang menarik adalah mengenai kemungkinan masuknya modal asing dalam penyelenggaraan pendidikan Indonesia.

Pada draft RUU BHP per agustus 2007 pasal 7 terdapat pengaturan mengenai bolehnya lembaga pendidikan asing mendirikan BHP di Indonesia dengan kepemilikan modal paling banyak 49% dari kebutuhan penyelenggaraan pendidikan.

Hal ini mendapat kecaman dari banyak pihak, baik para ahli maupun mahasiswa. Pada perkembangan berikutnya (versi draft selanjutnya), kata-kata ‘lembaga pendidikan asing mendirikan BHP di Indonesia dengan kepemilikan modal paling banyak 49% dari kebutuhan penyelenggaraan pendidikan’ hilang dari draft RUU BHP sehingga banyak kalangan yang merasa’ lega’ dan merasa bahwa RUU BHP tersebut aman karena tidak lagi mencantumkan kepemilikan modal asing pada suatu institusi pendidikan.

Padahal, kenyataannya tidak demikian. Meskipun kata-kata kepemilikan modal asing dihilangkan dari draft RUU BHP, namun pada PerPres no.77 tahun 2007 tetap disebutkan bahwa salah satu badan usaha yang dapat dimasuki modal asing adalah pendidikan, baik formal maupun informal. Persentasi besarnya modal asing tersebut adalah 49%. Artinya, institusi pendidikan dalam bentuk BHP tetap dapat menerima investasi dari modal asing hingga maksimal 49% dari biaya operasionalnya. Hal ini sangat mungkin terjadi karena dalam UU BHP pun tidak terdapat larangan untuk menerima investasi modal asing. Dan dari pembagian porsi pendanaan, investasi asing memiliki peluang yang cukup besar untuk memegang persentase terbesar. Bagaimana mungkin sektor yang penting seperti pendidikan dalam suatu negara dikuasai oleh modal asing.hal ini makin memperjelas adanya scenario penjajahan asing dalam pembuatan UU BHP tersebut.setelah 90% hasil bumi kekayaan Indonesia dikuasai asing kini pihak asing mencoba untuk menguasai sektor pendidikan diindonesia

Say no to Liberalisasi

Saat ini liberalisaasi atas negeri ini semakin hari – semakin dalam merambah ke berbagai sektor, ironisnya semua itu dilegalkan oleh Pemerintah dan DPR—yang diklaim sebagai pemangku amanah rakyat—melalui sejumlah UU. yaitu. UU Migas,UU Minerba,UU SDA,UU Penanaman Modal.UU Sisdiknas,UU BHP UU Pemilu dan UU Otonomi Daerah.semua UU tersebut mengadopsi nilai – nilai liberal dan menunjukan adanya interfensi dan keterpihakan kepada pihak asing dalam pembuatan UU tersebut.Kalau sudah begitu,masyarakat yang akan terkena imbasnya dan yang untung hanya segelintir kalangan, termasuk asing. Pasalnya, tidak dipungkiri, ‘aroma uang’—atau paling tidak, ‘aroma kepentingan’ elit partai—hampir ;selalu mewarnai setiap pembahasan RUU di DPR. Beberapa produk UU seperti UU Migas, UU SDA, UU Penanaman Modal, misalnya, diduga kuat didanai oleh sejumlah lembaga asing seperti World Bank, ADB dan USAID.

Dalam pandangan Islam, negara bertanggung jawab menyediakan fasilitas pendidikan gratis bagi seluruh rakyat. Untuk itu, negara tentu harus mempunyai cukup dana. Hal ini bisa diwujudkan jika kekayaan alam seperti tambang minyak, mineral,batu bara,dll

dikelola oleh negara secara amanah dan profesional, yang hasilnya sepenuhnya digunakan untuk memenuhi kepentingan rakyat.Karena itu, sudah saatnya umat Islam yang menjadi mayoritas di negeri ini menolak segala bentuk liberalisasi yang dipaksakan atas negeri ini. Liberalisasi adalah buah dari demokrasi. Demokrasi akarnya adalah sekularisme. Inti sekularisme adalah penolakan terhadap segala bentuk campur-tangan Allah SWT dalam mengatur urusan kehidupan manusia. Wujudnya adalah penolakan terhadap penerapan syariah Islam oleh negara dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Padahal Allah SWT telah berfirman:

Apakah sistem hukum Jahiliah yang kalian kehendaki? Siapakah yang lebih baik sistem hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).

Kenyataan yang ada membenarkan firman Allah SWT di atas. Akibat hukum Allah SWT ditolak dan malah hukum manusia yang diterapkan, negeri ini tidak pernah bisa mengatur dirinya sendiri. UU dan peraturan dibuat bukan untuk kemaslahatan umat dan kepentingan rakyat banyak, tetapi sekadar untuk memuaskan hawa nafsu dan memuluskan jalan pihak asing untuk menjajah negeri ini. Akibatnya, krisis multidimensi tetap melilit bangsa ini. Mahabenar Allah Yang berfirman:

Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (al-Quran), baginya penghidupan yang sempit, dan di akhirat kelak ia akan dibangkitkan dalam keadaan buta (QS Thaha [20]: 124).

Pertanyaannya: Mengapa kita masih terus saja menerapkan sistem hukum produk manusia yang terbukti banyak menimbulkan kemadaratan? Mengapa kita masih percaya pada sistem demokrasi yang menjadi ‘pintu masuk’ liberalisasi yang terbukti mengancam kepentingan rakyat? Mengapa kita masih meyakini sekularisme sebagai dasar untuk mengatur negara dan bangsa ini? Mengapa kita masih percaya kepada elit penguasa dan wakil rakyat yang nyata-nyata hanya mementingkan diri sendiri, kelompok/partainya, bahkan pihak asing atas nama demokrasi?

Setiap Muslim tentu menyadari, bahwa hanya syariah Islamlah yang pasti akan menyelesaikan seluruh persoalan kehidupan manusia, khususnya di negeri ini. Setiap Muslim juga tentu meyakini, bahwa hanya hukum-hukum Allahlah yang layak untuk mengatur seluruh aspek kehidupan manusia.

Karena itu, sudah saatnya umat Islam tidak hanya setuju terhadap penerapan syariah Islam, tetapi juga bersama-sama bergerak dan berjuang untuk segera mewujudkannya. Ingatlah, penerapan syariah Islam adalah wujud keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah SWT. Ingat pula, keimanan dan ketakwaan adalah sebab bagi turunnya keberkahan dari-Nya.

Sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, Kami pasti akan membukakan bagi mereka pintu keberkahan dari langit dan bumi (QS al-A’raf [7]: 96)

WASSALAM

Tidak ada komentar:

theme: auter space :: download this template for free from template.azimat.net